Pages

Tuesday, January 19, 2016

Hukum Rimba di Negara Hukum

            Permasalahan sosial yang akan dibahas kali ini yaitu mengenai sosial hukum mengenai hukum rimba yang berlaku di negara hukum Indonesia. Sering kita mendengar letupan kalimat dari mulut para politisi dan para pengamat hukum kita, bahkan para pejabat negara dengan kalimat "Ini Negara hukum, Indonesia adalah Negara hukum, Kita hidup dalam Negara hukum", "Serahkan saja kepada penegakan hukum, kita percaya saja dengan hukum yang ada" dan banyak lagi versi kalimat senada.
Kalau Indonesia ingin konsisten dengan sebutan Negara hukum, yang pertama dan nyata bisa dirasakan rakyat melaksanakan hukum itu adalah pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kenyataan selama ini sejak era kekuasaan Soeharto hingga kini era SBY, aparat pemerintah selalu melakukan pelanggaran hukum bahkan UU yang diamanatkan rakyat kepada setiap pelaksana pemerintahan, kebanyakan tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh secara baik dan benar.  Lucunya, wakil rakyat yang selama ini dan sedang duduk di DPR-RI serta DPRD juga tidak menjalankan pengawasan terhadap UU disetiap bidang kerja kepemerintahan sehingga sering terjadi ketidak puasan sebagian kalangan masyarakat, padahal azas keadilan harus dijalankan kedalam pelaksanaan hukum. Dalam kondisi berantakannya dan amburadulnya penegakan hukum di Indonesia, secara tidak langsung, Negara menggiring seluruh masyarakat serta komponen masyarakat untuk tidak mempercayai penegakan hukum di Indonesia. Akhirnya Negara sebenarnya secara tidak langsung telah mengundang seluas-luasnya masyarakat beserta komponen masyarakat untuk melakukan perbuatan main hakim sendiri. Suatu bukti nyata, diberbagai daerah bahkan di Jakarta dan Jawa Barat selalu terjadi konflik horizontal antar masyarakat dari kelompok yang berperkara di Pengadilan Negeri karena telah terjadi ketidak percayaan yang sangat mendalam terhadap para Hakim dan para Jaksa.
Pada jajaran Kepolisian RI, masih bergentayangannya oknum petinggi Polisi yang nyata memiliki rekening gendut hingga ratusan milyar. Bandingkan saja orang yang hanya sepangkat Irjenpol seperti Djoko Susilo, ternyata bisa memiliki puluhan harta bernilai sangat mahal hampir ratusan Milyar rupiah. Pertanyaan kita, darimanakah uang pembeli terhadap harta sebanyak itu ? Kalau dari gaji bulanan Irjenpol tidaklah mungkin tercapai, tentulah uang pembeli tersebut adalah diperoleh dari penyalah gunaan jabatan dalam periode yang cukup panjang. Bagaimana pula petinggi Polisi berpangkat lebih tinggi dari Djoko Susilo yang masih saja berkeliaran bebas sampai kini dalam instansi korps kepolisian RI. Pada jajaran Kejaksaan RI, karakter dan kinerja para oknumnya hampir sama dengan Kepolisian RI terhadap situasi budaya manipulasi dan penyalah gunaan jabatannya. Dalam hal penuntutan, oknum Jaksa bisa melakukan transaksi pasal dalam UU agar terpidana bisa bebas atau bisa ringan hukumannya (hukum dimainkan secara licik) sehingga tuntutan mengandung multi-interpretasi serta berargumentasi lemah tentunya dalam proses lanjutan, akan bermain juga dengan para oknum hakim pada saat berlangsungnya acara pengadilan. Semua ini tentu lidak lepas dengan permainan kotor dengan para oknum pengacara. Menurut pengamatan penulis, sangat langka untuk mendapatkan pengacara yang jujur serta idealis apalagi dalam kasus perkara perdata, para oknum pengacara selalu bisa berpihak kepada penggugat dan tergugat serta AC/DC kedua-duanya bagi mereka adalah duit yang bisa diperoleh dari berbagai pihak. Para oknum Pengacara selalu berpihak kepada pihak yang memiliki uang banyak. Membela orang miskin dalam berperkara di Pengadilan, hanya dimanfaatkan untuk pencitraan saja dan pencitraan ini nantinya digunakan juga untuk pembenaran keprofesian bahwa tidak orang berduit saja yang saya/kami bela. Para oknum Polisi, Hakim dan Jaksa sudah menjadi binatang hukum rimba yang berpura-pura menjalankan hukum serta berlindung dalam predikat hukum untuk bisa memakai fasilitas Negara agar bisa secara leluasa memeras serta memanipulasi hukum di Indonesia demi upaya jahat perbanyakan perolehan harta secara haram.
Untuk saat ini, kemana setiap warga Negara bisa mengadukan permasalahan hukum mereka ? Kalau ke Polisi tentu akan digarap oleh oknum Polisi (laporan kehilangan kambing bisa berbiaya pungutan liar seharga sapi), lapor ke mana ? ke ombustman, sama saja laporan permasalahan hukum hanya berstatus diterima saja dan diupayakan akan ditindak lanjuti (entah kapan), ke Komisi Yudisial (KY)? juga tidak beda dan para komisionernya selalu bergaya raja kecil di KY dan terlalu percaya pada karyawan menengah bawah yang banyak mafianya, ke Mahkamah Agung (MA)? lebih parah lagi, masyarakat akan di persulit dan berbelit-belit serta banyaknya mafia hukum yang bercokol di MA dimulai dari karyawan tingkat menengahnya. Semua kelemahan aparat Negara ini, mengundang hasrat berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Kemungkinan kuat, penyerangan penjara Cebongan di Yogya kemarin, adalah sebagai resultante kekecewaan aparat Kopassus terhadap penegakan hukum kita yang tidak adil sama sekali sehingga tidak ada yang bisa dipercaya disemua lini penegakan Hukum Indonesia. Kalau sudah demikian parah, adakah upaya kuat untuk memperbaikinya ? (Ashwin Pulungan)
            Indonesia sama dengan cerita Tarzan dalam dongeng klasik yang kepemimpinanya didasarkan pada kekuatan fisik. Bedanya, Tarzan masih memiliki naluri kemanusiaan yang tinggi. Ini dibuktikan dengan sikapnya yang menghargai makhluk sesama penghuni alam semesta, berkawan dengan siapa saja tanpa memandang harkat dan martabat termasuk takdir. Bandingkan dengan Indonesia. Jangankan dengan makhluk ciptan tuhan lainnya. Sesama manusia pun sikap toleransi dan saling menghargai hampir tidak nampak sama sekali. Bahkan bangsa indonesia saling menjatuhkan satu sama lain. Undang-undang dibuat hanya sebagai mesin politik guna menindas kaum minoritas dengan mengatasnamakan negara. Penyelesaian problematika masalah bangsa tidak melalui kedaulatan hukum, tetapi melalui jalur negosiasi politik yang cenderung parsial. Konsep negara hukum (rechstaat) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dicederai oleh kepentingan sesaat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dijadikan kambinghitam untuk mendapatkan simpati politik. Hukum ibarat kain usang yang sering ditambal sulam.
            Hukum diciptakan untuk menciptakan ketentraman. Tetapi hukum juga bisa mengakibatkan pertikaian. Disparitas antara konsep hukum dan kekuasaan seringkali berujung pada anarkisme sosial yang permanen. Ironisnya, hukum yang seharusnya bisa menciptakan kestabilan sosial, justeru mengakibatkan kerusuhan sehingga mengakibatkan instabilitas nasional. Apa yang menurut penguasa hukum yang baik, menurut rakyat adalah hukum yang menindas. Hukum bisa berjalan pada koridornya jika tidak diintervensi oleh kepentingan politik. Tapi di Indonesia, hampir mustahil mengatakan tidak intervensi politik dalam pembuatan hukum. Hukum yang dipraktekkan di Indonesia cenderung egois, hanya mendengarkan satu pihak dan mengabaikan suara dari pihak lain. Ini mengakibatkan hukum di Indonesia ibarat hukum rimba. Siapa kuat, maka dialah pemenangnya. Yang memiliki uang atau modal, maka dapat dipastikan, ia akan mampu membeli kedaulatan negara. Dalam doktrin kapitalisme “welcome to money”. Yang tidak mampu bersaing, perlahan-lahn akan tersingkir dan jatuh. Yang miskin akan selamanya melarat dan terinjak-injak. Berkaca pada pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia, hasil pencapaian kinerja tim pemberantasan korupsi hanya sebatas pada kuantitas jumlah kerugian negara yang berhasil dikembalikan yang ternyata jumlahnya juga tidak berbanding lurus antara pembiayaan dan pengembalian kerugian negara, bahkan terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas praktek korupsi.


Daftar Pustaka


No comments:

Post a Comment