Permasalahan sosial yang akan dibahas kali ini yaitu mengenai
sosial hukum mengenai hukum rimba yang berlaku di negara hukum Indonesia. Sering
kita mendengar letupan kalimat dari mulut para politisi dan para pengamat hukum
kita, bahkan para pejabat negara dengan kalimat "Ini Negara hukum,
Indonesia adalah Negara hukum, Kita hidup dalam Negara hukum",
"Serahkan saja kepada penegakan hukum, kita percaya saja dengan hukum yang
ada" dan banyak lagi versi kalimat senada.
Kalau Indonesia ingin konsisten dengan sebutan Negara
hukum, yang pertama dan nyata bisa dirasakan rakyat melaksanakan hukum itu
adalah pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kenyataan
selama ini sejak era kekuasaan Soeharto hingga kini era SBY, aparat pemerintah
selalu melakukan pelanggaran hukum bahkan UU yang diamanatkan rakyat kepada
setiap pelaksana pemerintahan, kebanyakan tidak dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh secara baik dan benar. Lucunya, wakil rakyat yang selama
ini dan sedang duduk di DPR-RI serta DPRD juga tidak menjalankan pengawasan
terhadap UU disetiap bidang kerja kepemerintahan sehingga sering terjadi
ketidak puasan sebagian kalangan masyarakat, padahal azas keadilan harus dijalankan
kedalam pelaksanaan hukum. Dalam kondisi berantakannya dan amburadulnya
penegakan hukum di Indonesia, secara tidak langsung, Negara menggiring seluruh
masyarakat serta komponen masyarakat untuk tidak mempercayai penegakan hukum di
Indonesia. Akhirnya Negara sebenarnya secara tidak langsung telah mengundang
seluas-luasnya masyarakat beserta komponen masyarakat untuk melakukan perbuatan
main hakim sendiri. Suatu bukti nyata, diberbagai daerah bahkan di Jakarta dan
Jawa Barat selalu terjadi konflik horizontal antar masyarakat dari kelompok
yang berperkara di Pengadilan Negeri karena telah terjadi ketidak percayaan
yang sangat mendalam terhadap para Hakim dan para Jaksa.
Pada jajaran Kepolisian RI, masih
bergentayangannya oknum petinggi Polisi yang nyata memiliki rekening gendut
hingga ratusan milyar. Bandingkan saja orang yang hanya sepangkat Irjenpol
seperti Djoko Susilo, ternyata bisa memiliki puluhan harta bernilai sangat
mahal hampir ratusan Milyar rupiah. Pertanyaan kita, darimanakah uang pembeli
terhadap harta sebanyak itu ? Kalau dari gaji bulanan Irjenpol tidaklah mungkin
tercapai, tentulah uang pembeli tersebut adalah diperoleh dari penyalah gunaan
jabatan dalam periode yang cukup panjang. Bagaimana pula petinggi Polisi
berpangkat lebih tinggi dari Djoko Susilo yang masih saja berkeliaran bebas
sampai kini dalam instansi korps kepolisian RI. Pada jajaran Kejaksaan RI,
karakter dan kinerja para oknumnya hampir sama dengan Kepolisian RI terhadap
situasi budaya manipulasi dan penyalah gunaan jabatannya. Dalam hal penuntutan,
oknum Jaksa bisa melakukan transaksi pasal dalam UU agar terpidana bisa bebas
atau bisa ringan hukumannya (hukum dimainkan secara licik) sehingga tuntutan
mengandung multi-interpretasi serta berargumentasi lemah tentunya dalam proses
lanjutan, akan bermain juga dengan para oknum hakim pada saat berlangsungnya
acara pengadilan. Semua ini tentu lidak lepas dengan permainan kotor dengan
para oknum pengacara. Menurut pengamatan penulis, sangat langka untuk
mendapatkan pengacara yang jujur serta idealis apalagi dalam kasus perkara
perdata, para oknum pengacara selalu bisa berpihak kepada penggugat dan
tergugat serta AC/DC kedua-duanya bagi mereka adalah duit yang bisa diperoleh
dari berbagai pihak. Para oknum Pengacara selalu berpihak kepada pihak yang
memiliki uang banyak. Membela orang miskin dalam berperkara di Pengadilan,
hanya dimanfaatkan untuk pencitraan saja dan pencitraan ini nantinya digunakan
juga untuk pembenaran keprofesian bahwa tidak orang berduit saja yang saya/kami
bela. Para oknum Polisi, Hakim dan Jaksa sudah menjadi binatang hukum rimba
yang berpura-pura menjalankan hukum serta berlindung dalam predikat hukum untuk
bisa memakai fasilitas Negara agar bisa secara leluasa memeras serta
memanipulasi hukum di Indonesia demi upaya jahat perbanyakan perolehan harta
secara haram.
Untuk saat ini, kemana setiap warga Negara bisa
mengadukan permasalahan hukum mereka ? Kalau ke Polisi tentu akan digarap oleh
oknum Polisi (laporan kehilangan kambing bisa berbiaya pungutan liar seharga
sapi), lapor ke mana ? ke ombustman, sama saja laporan permasalahan hukum hanya
berstatus diterima saja dan diupayakan akan ditindak lanjuti (entah kapan), ke
Komisi Yudisial (KY)? juga tidak beda dan para komisionernya selalu bergaya
raja kecil di KY dan terlalu percaya pada karyawan menengah bawah yang banyak
mafianya, ke Mahkamah Agung (MA)? lebih parah lagi, masyarakat akan di persulit
dan berbelit-belit serta banyaknya mafia hukum yang bercokol di MA dimulai dari
karyawan tingkat menengahnya. Semua kelemahan aparat Negara ini, mengundang hasrat
berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.
Kemungkinan kuat, penyerangan penjara Cebongan di Yogya kemarin, adalah sebagai
resultante kekecewaan aparat Kopassus terhadap penegakan hukum kita yang tidak
adil sama sekali sehingga tidak ada yang bisa dipercaya disemua lini penegakan
Hukum Indonesia. Kalau sudah demikian parah, adakah upaya kuat untuk
memperbaikinya ? (Ashwin Pulungan)
Indonesia sama dengan cerita Tarzan
dalam dongeng klasik yang kepemimpinanya didasarkan pada kekuatan fisik.
Bedanya, Tarzan masih memiliki naluri kemanusiaan yang tinggi. Ini dibuktikan
dengan sikapnya yang menghargai makhluk sesama penghuni alam semesta, berkawan
dengan siapa saja tanpa memandang harkat dan martabat termasuk takdir.
Bandingkan dengan Indonesia. Jangankan dengan makhluk ciptan tuhan lainnya.
Sesama manusia pun sikap toleransi dan saling menghargai hampir tidak nampak
sama sekali. Bahkan bangsa indonesia saling menjatuhkan satu sama lain. Undang-undang
dibuat hanya sebagai mesin politik guna menindas kaum minoritas dengan
mengatasnamakan negara. Penyelesaian problematika masalah bangsa tidak melalui
kedaulatan hukum, tetapi melalui jalur negosiasi politik yang cenderung parsial.
Konsep negara hukum (rechstaat) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
dicederai oleh kepentingan sesaat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
dijadikan kambinghitam untuk mendapatkan simpati politik. Hukum ibarat kain
usang yang sering ditambal sulam.
Hukum diciptakan untuk menciptakan
ketentraman. Tetapi hukum juga bisa mengakibatkan pertikaian. Disparitas antara
konsep hukum dan kekuasaan seringkali berujung pada anarkisme sosial yang
permanen. Ironisnya, hukum yang seharusnya bisa menciptakan kestabilan sosial,
justeru mengakibatkan kerusuhan sehingga mengakibatkan instabilitas nasional.
Apa yang menurut penguasa hukum yang baik, menurut rakyat adalah hukum yang
menindas. Hukum bisa berjalan pada koridornya jika tidak diintervensi oleh kepentingan
politik. Tapi di Indonesia, hampir mustahil mengatakan tidak intervensi politik
dalam pembuatan hukum. Hukum yang dipraktekkan di Indonesia cenderung egois,
hanya mendengarkan satu pihak dan mengabaikan suara dari pihak lain. Ini
mengakibatkan hukum di Indonesia ibarat hukum rimba. Siapa kuat, maka dialah
pemenangnya. Yang memiliki uang atau modal, maka dapat dipastikan, ia akan
mampu membeli kedaulatan negara. Dalam doktrin kapitalisme “welcome to money”.
Yang tidak mampu bersaing, perlahan-lahn akan tersingkir dan jatuh. Yang miskin
akan selamanya melarat dan terinjak-injak. Berkaca pada pengalaman
pemberantasan korupsi di Indonesia, hasil pencapaian kinerja tim pemberantasan
korupsi hanya sebatas pada kuantitas jumlah kerugian negara yang berhasil
dikembalikan yang ternyata jumlahnya juga tidak berbanding lurus antara
pembiayaan dan pengembalian kerugian negara, bahkan terjadi peningkatan
kuantitas dan kualitas praktek korupsi.
Daftar
Pustaka
No comments:
Post a Comment