...
PRANG!!!
Suara benda jatuh terdengar dari kamarku dan membuyarkan lamunanku. Sepertinya suara itu berasal dari dapur. Aku segera menuju dapur untuk memastikan apa yang terjadi. Aku melihat ibu terduduk di lantai seraya membersihkan makanan yang tumpah. Entah apa yang sedang ibu pikirkan sampai-sampai bisa terjatuh seperti itu. Tidak biasa-biasanya ibu melakukan hal-hal yang ceroboh seperti menumpahkan makanan. Aku pikir beliau pasti terpeleset. Aku membantu ibu membersihkan makanan yang tumpah dan memungut pecahan-pecahan piring yang berserakan. Tampak raut wajah ibuku tidak seperti biasanya. Mimiknya sangat berbeda. Ibu memang tidak selalu tersenyum ketika berada di rumah. Namun aku tahu persis raut wajah ibu yang sedang lelah seperti apa dan raut wajah yang aku lihat itu tidak menandakan bahwa ibuku sedang kelelahan. Aku dapat membacanya, raut wajah ibu yang pucat dengan alis turun dan wajah yang bersedih. Aku tahu ibu sedang banyak pikiran. Beliau pasti memikul beban yang sangat berat. Pada awalnya aku meyakinkan diri bahwa ibu seperti itu bukan karena pertengkaran aku dan adikku yang telah berlangsung selama kurang lebih seminggu. Pasti ada penyebab lainnya. Namun pada akhirnya, aku tidak tega melihat ibu bersedih terus seperti itu. Aku bertanya kepada beliau tentang apa yang sedang mengganggu pikirannya. Beliau memberikan jawaban yang tanpa aku tanyakan pun aku sudah tau bahwa beliau akan menjawab itu.
Aku merenung. Tepat seperti dugaanku, ibu merasa sedih melihat kami berdua bertengkar seperti ini. Pada akhirnya, ibu memintaku untuk meminta maaf padanya. Pada awalnya aku tidak mau dan bersikeras menolak permintaan beliau. Tentu saja aku sangat keberatan karena dia yang memancing amarahku terlebih dahulu. Namun ibu menasehati dengan begitu bijak. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya begitu lembut dan menenangkan hati. Aku sangat tersentuh mendengarnya. Lagipula aku juga tidak ingin melihat ibu terus menderita dan bersedih hati karena kelakuan kami.
Akhirnya aku meminta maaf pada adikku. Aku tidak pernah berharap bahwa ia akan memaafkanku atau bahkan meminta maaf kepadaku atas perilakunya waktu itu. Namun ia melakukannya, meskipun ia masih merasa takut denganku. Kami pun berbaikan dan saling bersalaman. Rasanya lega setelah saling memaafkan. Aku tersenyum melihat ibu akhirnya dapat tersenyum karena kami sudah berbaikan. Adikku pun menampakkan senyum liciknya. Entah apa maksud di balik senyum licik itu. Semoga itu bukanlah hal buruk yang akan menimpaku lagi.
Seminggu telah berlalu, aku baru menyadari luka di tangan adikku masih merah menganga. Tentu saja membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan luka itu. Di satu sisi aku merasa takut karena luka itu adalah hasil karya tanganku sendiri. Namun di sisi lain aku merasa bangga karena aku memiliki kekuatan sebesar itu sehingga membuat adikku menangis ketakutan. Aku masih memikirkan tentang perbuatanku waktu itu. Padahal kami sudah berbaikan, tetapi rasa takut masih terus membayangiku. Aku takut hal yang sama akan terulang lagi apabila amarahku tidak dapat kukendalikan seperti saat itu. Aku yakin lambat laun seiring berjalannya waktu, luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Begitu pula dengan tali persaudaraan kami. Sehebat apapun kami bertengkar, selama apapun kami terus berdiam diri, pada akhirnya kami akan saling memaafkan satu sama lain karena kami adalah saudara kandung. Sesulit apapun keadaannya, aku selalu ingin melindungi adikku dan menjadi kakak yang baik untuknya. Aku ingin menjada panutan yang baik dan dapat dicontoh oleh adikku kelak. Meskipun, aku tahu di dunia ini tidak ada yang sempurna. Setelah kejadian tersebut, aku berharap dia jera dan tidak akan menggangguku lagi. Mungkin dia akan bersikap lebih baik dan lebih menghormatiku sebagai seorang kakak. Namun kenyataan berkata lain. Ia masih terus melakukan kejahilannya yang mengundangku untuk melakukan hal-hal yang buruk lagi padanya. Dia tidak peduli akan akibat yang terjadi jika ia terus menerus menjahiliku seperti ini. Oh tidak.