Pages

Wednesday, March 15, 2017

Ini Bukan Salahku (lanj.)


...
PRANG!!!

Suara benda jatuh terdengar dari kamarku dan membuyarkan lamunanku. Sepertinya suara itu berasal dari dapur. Aku segera menuju dapur untuk memastikan apa yang terjadi. Aku melihat ibu terduduk di lantai seraya membersihkan makanan yang tumpah. Entah apa yang sedang ibu pikirkan sampai-sampai bisa terjatuh seperti itu. Tidak biasa-biasanya ibu melakukan hal-hal yang ceroboh seperti menumpahkan makanan. Aku pikir beliau pasti terpeleset. Aku membantu ibu membersihkan makanan yang tumpah dan memungut pecahan-pecahan piring yang berserakan. Tampak raut wajah ibuku tidak seperti biasanya. Mimiknya sangat berbeda. Ibu memang tidak selalu tersenyum ketika berada di rumah. Namun aku tahu persis raut wajah ibu yang sedang lelah seperti apa dan raut wajah yang aku lihat itu tidak menandakan bahwa ibuku sedang kelelahan. Aku dapat membacanya, raut wajah ibu yang pucat dengan alis turun dan wajah yang bersedih. Aku tahu ibu sedang banyak pikiran. Beliau pasti memikul beban yang sangat berat. Pada awalnya aku meyakinkan diri bahwa ibu seperti itu bukan karena pertengkaran aku dan adikku yang telah berlangsung selama kurang lebih seminggu. Pasti ada penyebab lainnya. Namun pada akhirnya, aku tidak tega melihat ibu bersedih terus seperti itu. Aku bertanya kepada beliau tentang apa yang sedang mengganggu pikirannya. Beliau memberikan jawaban yang tanpa aku tanyakan pun aku sudah tau bahwa beliau akan menjawab itu.
Aku merenung. Tepat seperti dugaanku, ibu merasa sedih melihat kami berdua bertengkar seperti ini. Pada akhirnya, ibu memintaku untuk meminta maaf padanya. Pada awalnya aku tidak mau dan bersikeras menolak permintaan beliau. Tentu saja aku sangat keberatan karena dia yang memancing amarahku terlebih dahulu. Namun ibu menasehati dengan begitu bijak. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya begitu lembut dan menenangkan hati. Aku sangat tersentuh mendengarnya. Lagipula aku juga tidak ingin melihat ibu terus menderita dan bersedih hati karena kelakuan kami.
Akhirnya aku meminta maaf pada adikku. Aku tidak pernah berharap bahwa ia akan memaafkanku atau bahkan meminta maaf kepadaku atas perilakunya waktu itu. Namun ia melakukannya, meskipun ia masih merasa takut denganku. Kami pun berbaikan dan saling bersalaman. Rasanya lega setelah saling memaafkan. Aku tersenyum melihat ibu akhirnya dapat tersenyum karena kami sudah berbaikan. Adikku pun menampakkan senyum liciknya. Entah apa maksud di balik senyum licik itu. Semoga itu bukanlah hal buruk yang akan menimpaku lagi.
 Seminggu telah berlalu, aku baru menyadari luka di tangan adikku masih merah menganga. Tentu saja membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan luka itu. Di satu sisi aku merasa takut karena luka itu adalah hasil karya tanganku sendiri. Namun di sisi lain aku merasa bangga karena aku memiliki kekuatan sebesar itu sehingga membuat adikku menangis ketakutan. Aku masih memikirkan tentang perbuatanku waktu itu. Padahal kami sudah berbaikan, tetapi rasa takut masih terus membayangiku. Aku takut hal yang sama akan terulang lagi apabila amarahku tidak dapat kukendalikan seperti saat itu. Aku yakin lambat laun seiring berjalannya waktu, luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Begitu pula dengan tali persaudaraan kami. Sehebat apapun kami bertengkar, selama apapun kami terus berdiam diri, pada akhirnya kami akan saling memaafkan satu sama lain karena kami adalah saudara kandung. Sesulit apapun keadaannya, aku selalu ingin melindungi adikku dan menjadi kakak yang baik untuknya. Aku ingin menjada panutan yang baik dan dapat dicontoh oleh adikku kelak. Meskipun, aku tahu di dunia ini tidak ada yang sempurna. Setelah kejadian tersebut, aku berharap dia jera dan tidak akan menggangguku lagi. Mungkin dia akan bersikap lebih baik dan lebih menghormatiku sebagai seorang kakak. Namun kenyataan berkata lain. Ia masih terus melakukan kejahilannya yang mengundangku untuk melakukan hal-hal yang buruk lagi padanya. Dia tidak peduli akan akibat yang terjadi jika ia terus menerus menjahiliku seperti ini. Oh tidak.

Ini Bukan Salahku

Karya : Anggun Dwina Harsanti


"Saudara kandung adalah bunga yang berbeda dari taman yang sama."

...
Aku membuka mata di pagi hari. Tubuh ini terasa akan hancur saat aku mencoba untuk bangun. Aku baru ingat hari ini adalah hari Minggu. Hari Minggu adalah hari yang paling kunantikan. Aku ingin segera beristirahat dan melepas seluruh penat yang singgah di dalam diriku. Namun, hari Minggu kali ini berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya. Aku baru sadar ketika membuka jendela bahwa hari ini mendung, membuatku tidak bergairah untuk melakukan kegiatan apapun. Segera kutarik kembali selimutku dan mulai memejamkan mata. Seperti ada yang ganjil, aku merasa sangat sulit untuk tidur lagi. Kemudian aku berguling-guling dan berputar-putar di atas tempat tidur. Rasanya sulit sekali untuk kembali ke dunia mimpi sana dan melanjutkan mimpiku yang sebelumnya. Beberapa menit pun berlalu, aku masih berbaring di atas tempat tidur dan enggan bangun. Aku memikirkan sesuatu untuk beberapa saat. Sesuatu yang dapat aku lakukan untuk menghilangkan kegelisahan ini. Tak lama kemudian, aku memutuskan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Aku mengurung diri di kamar sampai beberapa jam agar tugas-tugas tersebut dapat selesai dengan cepat. Beberapa jam pun berlalu,  kepalaku mulai terasa pusing sehingga aku meninggalkan seluruh tugas di kamar dan mencari hiburan di luar sana.
Setelah keluar kamar, aku mendapati ruang tv tidak berpenghuni. Begitu sunyi, tidak ada yang bersua. Tanpa pikir panjang, aku pun mengambil remote tv dan menyalakannya. Aku menonton acara kartun kesukaanku yang hanya akan tayang setiap hari Minggu. Saat sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba adikku keluar dari kamarnya. Ia berdiri di depan tv dengan maksud untuk menghalangi pandanganku. Aku menegurnya agar segera menghilang dari pandanganku yang hanya tertuju pada tv dan menyuruhnya pergi. Ia tidak mau dan itu sangat mengganggu ketenanganku. Entah apa yang ia pikirkan, ia mencoba merebut remote tv dari tanganku namun aku tidak mau memberikannya. Kami pun bertengkar dengan sangat hebat dan tidak ada yang mau mengalah. Remote tv tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Hingga pada akhirnya, aku sudah tidak sabar lagi. Seluruh amarah memuncak di ubun-ubun. Sekujur tubuhku terasa panas seperti terbakar. Entah apa yang merasukiku, aku merasa sangat kesal dan ingin memusnahkan anak ini dari hadapanku. Tanpa aku sadari, tanganku melayang di luar kendali lalu melukai tangannya. Kami pun terdiam. Tak lama kemudian, tangan adikku memerah dan darah mulai mengalir. Ia berlari mencari ibu ke seluruh isi rumah sambil menangis. Aku ketakutan dan langsung mengurung diri di kamar. Tanganku terasa sangat panas. Apa yang telah aku lakukan, pikirku sambil mangamati tangan yang telah melukai adikku. Aku mengamati kedua tanganku yang memerah dengan seksama. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipiku. Aku mencoba mencakar-cakar diriku sendiri. Mencakar pipi, tangan dan begitu seterusnya hingga aku letih. Ini akibatnya. Ini akibat yang harus aku terima. Tetapi aku tidak merasa sakit sedikitpun. Tidak ada segores luka pun yang tampak. Aku mulai merasa bingung. Tanpa piker panjang, aku segera mengambil gunting kuku dan memotong kukuku yang telah mencakar tangan adikku sendiri. Pikiranku kacau dan seketika itu juga aku langsung menutupi diri di dalam selimut dan menghabiskan hari Minggu di dalam kamar mengurung diri.
Hari-hari berikutnya, aku merasa sangat takut untuk bertemu dengannya. Tidak ada satu kata pun yang terlontar ketika melihatnya selain mengalihkan pandangan dan menjauh. Aku hanya ingin melarikan diri dan tidak mau melihatnya. Sedih, kesal, dan perasaan bersalah selalu menghantui. Hal seperti itu berlangsung selama satu minggu. Aku sangat tersiksa dengan keadaan seperti ini. Aku tahu ini salahku namun aku meyakinkan diri bahwa ini bukan salahku. Ini bukan salahku. Ini bukan salahku. Ini bukan salahku. Jika saja ia tidak mengganggu hariku yang melelahkan dan memperburuk suasana hatiku yang sudah kelabu, aku tidak akan kehilangan kendali dan melukainya sampai berdarah seperti itu. Terlebih lagi, aku adalah seorang kakak. Sudah pasti akulah yang akan disalahkan oleh ibu atas peristiwa ini meskipun yang pertama memulainya bukan aku. Aku benci. Aku membenci semuanya. Perang dingin pun terus berlangsung di rumah. Aku menjauhkan diri dari seluruh anggota keluarga dan hanya mengurung diri di dalam kamar.
Aku tahu ibu pasti sangat sedih melihat kedua anak kandungnya bertengkar. Beliau pasti sangat menginginkan kami berdua akur, rukun, dan saling membantu. Namun, selama ini yang aku tahu adikku hanyalah anak manja yang merepotkan. Ia tidak mau berbagi dan membantu jika di rumah sedang membutuhkan pertolongan. Aku ingin dia enyah saja dari rumah ini. Bagiku, ia tidak berguna. Ia tidak lebih dari seorang anak manja yang menyebalkan, egois, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Adikku tidak seperti adik teman-temanku yang sangat lucu dan polos. Ia berbeda. Ia menyeramkan. Jika keinginannya tidak terpenuhi, pasti ia akan memberontak. Semakin aku mengingatnya, semakin aku membencinya.

Bersambung..

Monday, March 13, 2017

Tugas Softskill Materi Bulan Pertama

Excercise 21 : Contiditonal Sentences (Page 97-98 No 1-30)
1.      Could understand
2.      Wouldn’t be
3.      Will give
4.      Would have told
5.      Would have been
6.      Had
7.      Could stop
8.      Needed
9.      Would have found
10.  Enjoyed
11.  Paint
12.  Were
13.  Writes
14.  Had permitted
15.  Could spend
16.  Will accept
17.  Buys
18.  Had decided
19.  Would have written
20.  Will leak
21.  Could have studied
22.  Hears
23.  See
24.  Gets
25.  Turn
26.  Were
27.  Would have called
28.  Would have talked
29.  Explained
30.  Spoke

Excercise 22 : Used To (Page 99 No 1-10)
1.      Eating
2.      Eat
3.      Swim
4.      Like
5.      Speaking
6.      Studying
7.      Dance
8.      Sleeping
9.      Eating
10.  Eating

Excercise 23 : Would Rather (Page 101-102 No 1-10)
1.      Stay
2.      Have stayed
3.      Work
4.      Study
5.      Not to study
6.      Have
7.      Stand
8.      Not to cook
9.      Hadn’t arrived
10.  Have slept

Excercise 24 : Must/Should + Perfective (Page 105 No 1-10)
1.      Should have had
2.      Must have been
3.      Must have damaged
4.      Shouldn’t have parked
5.      Must have studied
6.      Should have studied
7.      Must have been
8.      Should have deposited
9.      Must have forgotten
10.  Shouldn’t have studied

Excercise 25 : Modals + Perfective (Page 105-106 No 1-10)
1.      I would
2.      Would have gone
3.      May have had
4.      Should have done
5.      Must have forgotten
6.      May have slept
7.      Might have had
8.      Could have lost
9.      Shouldn’t have driven
10.  May have run