Pages

Thursday, January 21, 2016

Tawuran Antar Pelajar Bagian IV

Tawuran Antar Pelajar
Bagian IV
Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi masyarakat. Prilaku tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia selama sepuluh tahun terakhir.
Beberapa tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta ditangkap polisi karena membacok siswa SMK 5 Semarang. Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah dan dihukum penjara. Wali Kota Sukawi Sutarip mendukung bila sekolah mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua sekolah di Semarang tidak boleh menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif semacam itu akan menyelesaikan masalah?
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro, rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku yang tidak pronorma. Pada tingkat messo, buruknya kualitas dan manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi anak yang dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di tingkat makro, persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa kehilangan harapan untuk hidup layak. Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada bidang pendidikan.

Sekolah sebagai “Pembunuh” Siswa
Beragam “prestasi buruk” selama ini menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan kualitas siswa. Pertanyaan mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih pendidikan bagi masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal “investasi” yang diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi solusi bagi kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan masalah bagi masyarakat.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya.
Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit jantung.
Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.
Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6 hari perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya. Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan? Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”. Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.

Sekolah yang Menyenangkan
Saat ini mulai berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang menyenangkan, seperti model quantum learning. Dalam quantum learning pelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan disesuaikan dengan ranah berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang “dipaksa” mengikuti pelajaran sesuai kemauan guru, termasuk dalam hal penilaian benar-salah. Guru yang harus “masuk” ke dalam ranah berpikir siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa. Dalam quantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter memaksakan pendapatnya paling benar. Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat tidak dilarang. Selama ini kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak. Siswa tidak punya kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap “melanggar peraturan” sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi siswa untuk mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada konteksnya, termasuk konteks pemikiran siswa. Akibatnya, siswa patuh karena “pura-pura”.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian David Goleman, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi di Indonesia.
Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa mempengaruhi manusia lain.
Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan” musuh. Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam sekolah “lawan” harus dimusuhi.
Seragam sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan seragam.
Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan: terus berusaha dan tak kenal menyerah.


Daftar Pustaka :

Tawuran Antar Pelajar Bagian III


Ø  Pihak sekolah harus benar-benar tegas, dan memberikan sangsi seberat-beratnya bagi siswa yang terlibat tawuran.
Ø  Bagi para orang tua, mulailah jadi sahabat anak-anaknya. Jangan jadi polisi, hakim atau orang asing dimata anak. Hal ini sangat penting untuk memasuki dunia mereka dan mengetahui apa yang sedang mereka pikirkan atau rasakan. Jadi kalau ada masalah dalam kehidupan mereka, orang tua bisa segera ikut menyelesaikan dengan bijak dan dewasa. Menjaga dan menjalin komunikasi  antara anak dan orang tua dengan baik. Orang tua harus selalu memantau puteranya terutama pada waktu pulang sekolah. Memberikan pendidikan disiplin dari usia dini. Bagi orang tua yang sibuk, saya menyarankan agar aaputeranya disekolahkan dengan reportasi baik. Menjaga keharmonisan keluarga. Diajarkan berperilaku sopan dan tanggung jawab. Selalu mengingatkan pada puteranya saat berangkat sekolah.
Ø  Buat sekolah khusus dalam lingkungan yang penuh disiplin dan ketertiban bagi mereka yang terlibat tawuran. Ini adalah cara untuk memutus dendam dan masalah dalam dunia pelajar. Jadi siapapun dan dari sekolah manapun yang terlibat tawuran, segera tangkap dan masukkan dalam sekolah khusus yang memiliki kurikulum yang khusus bagi mereka. Dengan jalan tersebut, setidaknya teman atau adik kelas mereka tak akan lagi terpengaruh oleh ide-ide gila anak-anak yang suka tawuran ini.
Ø  Perbanyaklah kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Kegiatan yang biasa dilakukan sehabis selesai kegiatan belajar mengajar dapat mencegah sang pelajar dari kegiatan-kegiatan negatif. Misalnya ekskul futsal, setelah selesai futsal pelajar pasti kelelahan sehingga tidak ada waktu untuk keluyuran malam atau hang out dengan teman lainnya.
Ø  Pengembangan bakat dan minat pelajar
Pengembangan dan minat ini bisa mngarahkan potensi dan bakat mereka yang terpendam.
Ø  Pendidikan agama sejak dini. Pendidikan agama ini sangat penting sekali, karena apabila seorang pelajar memiliki basic agama yang baik tentunya bisa mencegah pelajar tersebut untuk berbuat tidak terpuji karena mereka mengetahui akibatnya dari perbuatan tersebut.
Ø  Boarding school (sekolah berasrama). Ini merupakan salah satu alternatif mencegah pelajar dari tawuran. Biasnya di skolah ini, waktu belajar lebih lama dari sekolah umum. Ada yang sampai jam 4 sore, setelah maghrib ngaji atau pelajaran agama. Selesai isya’ pelajar biasanya pergi ke perpustakaan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Jam 8 malam, pelajar baru bisa beristirahat atau lainnya. Sekolah ini sangat efektif menurut saya, pelajar tidak ada waktu untuk berinteraksi dengan dunia luar karena kesibukan mereka.
Ø  Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dak tidak menuntun.
Ø  Memberikan kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat.
Ø  Memberikan untuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan perkembangan bakat dan potensi remaja
Ø  Memberikan pendidikan mora untuk para pelajar
Ø  Menghadirkan seorang figur yang baik untuk dicontoh oleh para pelajar. Seperti hadirnya seorang guru, orang tua, dan teman sebaya yang dapat mengarahkan para pelajar untuk selalu bersikap baik.
Ø  Memberikan perhatian yang lebih untuk para remaja yang sedang mencari jati diri.
Ø  Memfalisitasi para pelajar agar bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat di waktu luangnya. Contohnya: membentuk ikatan remaja masjid atau karang taruna dan membuat acara-acara yang bermanfaat.
Tawuran merupakan kegiatan yang menmbulkan dampak negatif bagi pelakunya dan biasanya menimbulkan korban. Tawuran biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara  psikologis, kenakalan remaja yang berupa tawuran ini merupakan wujud konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun pada masa remaja. Namun, ada kalanya trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri. Namun pada kenyataannya orang cenderung langsung menyalahkan, menghakimi, bahkan menghukum pelaku kenakalan remaja tanpa mencari penyebab, latar belakang dari perilakunya tersebut.
Untuk meminimalisir terjadinya tawuran antar pelajar, yaitu dengan menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Karena emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya.
Untuk meminimalisir terjadinya tawuran dengan cara berikut:
o   Prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik, dan juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
o   Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya .
o   Kemauan orang tua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
o   Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orang tua memberi arahan denga siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
o   Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.
o   Pemberian ilmu yang bermakna yang terkandung dalam pengetahuan dengan memanfaatkan film-film yang bernuansa moral, media massa ataupun perkembangan teknologi lainnya.
o   Memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman anak-anak yang baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja.
·         Membentuk suasana sekolah yang kondusif, nyaman buat remaja agar dapat berkembang sesuai dengan tahap perkembangan remaja.


Daftar Pustaka :


Tawuran Antar Pelajar Bagian II


Acara awal tahun, orientasi sekolah yang dimana para pelajar baru diwajibkan mengikuti kegiatan ini. Kegiatan yang pada dasarnya adalah untuk memahami dan mengenali sekolah, untuk lebih kenal kawan-kawannya malah cenderung disalah gunakan oleh para senior untuk ajang balas dendam dari apa yang ia terima pada waktu yang sama saat ia menjadi junior, pola-pola yang dipakai cenderung dengan pola militer. Hal inilah yag menyebabkan kekerasan dalam dunia pendidikan. Pola yang semacam ini terus diturunkan oleh setiap generasi. Agar terhindar dari pola yang berleihan, diperlukan adanya pengawasan dari pihal sekolah dan turunnya langsung pengajar dalam kegiatan ini. Karena kedisiplinan berbeda dengan kekerasan, yang seharusnya menjadi tantangan setiap panitia kegiatan dalam mengemas ide, gagasan acara pada waktu perkenalan sekolah, menjadi sesuatu yang inovatif, dan kreatif.
Ø  Faktor diri remaja itu sendiri
Faktor ini terjadi didalam diri individu itu sendiri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan di sekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar. Remaja yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keanekaragaman pandangan ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tetapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanay mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang suka berkelahi, biasanya mereka yang mengalami konflik batin, mudah frustasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yag kuat. Para remaja yang mengalami hal ini akan tergesa-gesa dalam memechkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi para remaja juga memiliki andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya mudah frustasi, tidak mudah mengendalikan diri, dan tidak peka terhadap orang-orang di sekitarnya. Seorang remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya ditengah-tengah orang-orang sekelilingnya.
Ø  Faktor keluarga
Keluarga merupakan tempat dimana pendidikan pertama dari orang tua diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan dalam keuarganya maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan jelas berdampak pada anak. Anak ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga kekerasan adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temanya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yag dibangunnya. Selain itu ketidakharmonisan keluarga juga bisa menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologi bagi setiap anak terutama pada masa remaja. Jadi disinilah peran orang tua sebagai penunjuk jalan anaknya untuk selalu berperilaku baik.
Ø  Faktor sekolah
Sekolah pertama-tama buka dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya itu. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dan sebagainya) akan menyebabkan siswaya lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya.
Sekolah tidak hanya menjadikan para siswa pandai secara akademik namun juga pandai secara akhlaknya. Sekolah merupakan wadah untuk para siswa mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa mejadi wadah unutuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya kualitas pengajaran yang bermutu. Contohnya di sekolah tidak jarang ditemukan ada seorang guru yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam mendidik anak muridnya akhirnya guru tersebut menunjukkan kemarahannya melalui kekerasan. Hal ini bisa saja ditiru oleh para siswanya. Lalu disinilah peran guru dituntut untuk menjadi seorang pendidik yang memiliki kepribadian baik.
Ø  Faktor lingkungan
Lingungan baik rumah maupun sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian.
Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung munculnya perilaku berkelahi. Seorang remaja yang tinggal di lingkungan rumah yang tidak baik akan menjadi remaja tersebut ikut menjadi remaja yang tidak baik. Kekerasan yang sering remaja lihat akan membentuk pola kekerasan di pikran para remaja. Hal ini membuat remaja bereaksi anarkis. Tidak adanya kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang oleh para pelajar di sekitar rumahnya juga bisa mengakibatkan tawuran.
Dampak yang disebabkan karena tawuran pelajar yaitu:
Ø  Kerugian fisik, pelajar yang ikut tawuran kemungkinan akan menjadi korban. Baik luka berat, ringan. Bahkan sampai kematian
Ø  Masyarakat sekitar juga dirugikan.
Contohnya: rusaknya rumah warga apabila pelajar yang tawuran itu melempari batu dan mengenai rumah warga.
Ø  Terganggunya proses belajar mengajar
Ø  Menurunnya moralitas para pelajar
Ø  Hilangnya perasaan peka, toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai
Berikut ini beberapa solusi untuk mengurangi terjadinya tawuran antar pelajar yaitu:
Ø  Para siswa wajib diajarkan dan memahami bahwa semua permasalahan tidak dapat terselesaikan dengan jalan kekerasan.
Ø  Untuk para pendidik, lakukanlah komunikasi dan pendekatan secara khusus kepada para pelajar untuk mngajarkan cinta kasih.
Ø  Pengajaran ilmu bela diri yang mempunyai prinsip penggunaan untuk menyelamatkan orang dan bukan untuk menyakiti orang lain.
Ø  Ajarkan ilmu sosial budaya, karena ilmu sosial budaya sangat bermanfaat untuk pelajar khususnya, yaitu agar tidak salah menempatkan diri di lingkungan masyarakat.


Tawuran Antar Pelajar Bagian I

         Pada artikel kali ini saya akan membahas permasalahan sosial mengenai kenakalan remaja yang sudah tidak asing lagi didengar oleh telinga kita yaitu perkelahian antar pelajar. Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran sering terjadi diantara pelajar. Namun, mengapa tawuran antar pelajar ini merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat di Indonesia?. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.
Para pelajar remaja yang sering melakukan aksi tawuran tersebut lebih senang melakukan perkelahian di luar sekolah. Tawuran tersebut telah menjadi kegiatan yang turun-temurun pada sekolah tersebut. Sehingga tidak heran apabila ada yang berpendapat tawuran sudah membudaya atau sudah menjadi tradisi pada sekolah tertentu. Masalah ini bukan perkara baru dan jangan dianggap remeh. Padahal masalah tawuran antar pelajar akan membawa dampak panjang , bukan hanya bagi pelajar yang terlibat, namun juga untuk keluarga, sekolah, serta lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Perkelahian ini sering terjadi bukan hanya dari pelajar SMA tetapi juga pelajar SMP. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korbannnya cenderung meningkat. Tawuran yang sering terjadi apabila dapat dikatakan hampir setiap bulan, minggu, bahkan mungkin tiap hari selalu terjadi perkelahian antar pelajar  yang kadang-kadang berujung dengan hilangnya pelajar secara sia-sia. Pelajar yang seharusnya menimba ilmu di sekolah untuk masa depan yang lebih baik untuk menjadi penerus bangsa malah berkeliaran di luar.
Tawuran pelajar yang terjadi bertubi-tubi, telah mencapai taraf yang memprihatinkan. Pernahkah kita berfikir, mengapa anak-anak tega membunuh temannya sendiri? Apakah tidak ada andil dari pihak lain yang menyebabkan anak tega melakukan tindakan seperti ini?
Banyaknya tawuran antar pelajar di kota-kota besar Indonesia merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas dan dicari jalan keluarnya untuk mengatasi masalah tawuran antar pelajar. Perkelahian yang  dilakukan oleh sesama pelajar ini sangat merugikan pihak selain para pelajar itu sendiri, dan untuk mencari jalan penyelesaian terbaik dalam menekan permasalahan ini agar tidak terus menerus dalam kehidupan para pelajar dan tidak berdampak buruk pada masa depan mereka.
Tawuran merupakan suatu kegiatan perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Di Indonesia, tawuran telah menjadi tradisi, atau bahkan budaya. Perilaku menyimpang ini biasanya diakibatkan oleh masalah-masalah sepeleh atau biasa saja yang disebabkan oleh hal-hal serius yang menjurus pada tindakan kekerasan.
Dan belakangan ini tawuran semakin marak di kalangan pelajar. Tawuran antar pelajar saat ini sudah menjadi masalah yang sangat mengganggu ketertiban dan keamanan di lingkungan sekitarnya. Saat ini, tawuran antar pelajar sekolah tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah atau sekitar saja, namun terjadi di jalan-jalan umum, dan mengakibatkan pengrusakan fasilitas publik. Penyimpangan pelajar ini menyebabkan pihak sekolah, guru, dan masyarakat yang melihat pasti dibuat bingung dan takut bagaimana untuk melerainya, sampai akhirnya melibatkan kepolisian.
Hal ini dikarenakan senjata yang dibawa oleh pelajar-pelajar yang dipakai pada saat tawuran bukan senjata biasa. Bukan lagi mengandalkan keterampilan tangan, tinju satu lawan satu. Sekarang, tawuran sudah menggunakan alat bantu, seperti benda yang ada di sekeliling (batu dan kayu). Mereka juga memakai senjata tajam senjata yang bisa merenggut nyawa seseorang. Contohnya pisau, besi, dan lainnya.
Penyimpangan seperti tawuran antar pelajar, menjadi kerusuhan yang dapat menghilangkan nyawa seseorang. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa seorag pelajar yang tega melakukan tindakan yang ekstrem sampai menyebabkan hilangnya nyawa pelajar lain hanya karena masalah-masalah kecil?
Tawuran antar pelajar bisa terjadi antar pelajar sesama satu sekolah, ini biasanya dipicu karena permasalahan kelompok, cenderung akibat pola berkelompok yang menyebabkan pengelompokan berdasarkan hal-hal tertentu. Misalnya, kelompok anak-anak nakal, kelompok kutu buku, kelompok anak-anak kantin. Pengelompokan tersebut yang biasanya dikenal dengan sebutan Gank. Namun, ada juga tawuran antar pelajar yang terjadi antara dua kelompok yang beda sekolah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tawuran antar pelajar yaitu:
Ø  Tawuran antar pelajar bisa saja terjadi karena ketersinggungan salah satu kawannya.
Mungkin dari kita pernah mendengar tawuran antar pelajar yang yang dipicu karena ketersinggungan seorang siswa yang tersenggol oleh pelajar sekolah lain saat berpapasan di terminal, atau masalah kompleks lainnya. Misalkan, permasalahan pribadi, rebutan perempuan, dipalak, dan lain sebagainya.
Ø  Permasalahan yang sudah mengakar, dalam arti sejarah yang menyebabkan pelajar-pelajar dua sekolah saling bermusuhan.
Terkadang permasalahan tawuran antar pelajar dipicu pula dengan adanya sejarah permusuhan yang sudah ada dari generasi sebelumnya dengan sekolah lain, beredarnya cerita-cerita yang menyesatkan, bahkan memunculkan mitos berlebihan yang membuat generasi berikutnya terpicu melakukan hal yang sama.
Seperti contohnya, antara sekolah A dengan sekolah B adalah musuh abadi, dimana masing-masing sekolah akan melakukan hal yang antipati terhadap sekolah lain. Biasanya, akan ada pelajar yang menjadi perbincangan, semacam tokoh bagi sekolahnya, karena kehebatannya pada waktu berkelahi.
Ø  Jiwa premanisme yang tumbuh dalam jiwa pelajar.
Premanisme bukan istilah yang asing lagi kita dengar. Mereka cenderung memiliki sifat dengan memakai kekerasan fisik dalam menyelesaikan masalahnya. Mereka mengukur kemenangannya karena kekuatan fisiknya, bukan intelektualitasnya. Padahal, premanisme bertolak belakang dengan jiwa seorang pelajar, yang dituntut kecerdasan berpikir, kecerdasan menglola emosi, dan lain-lain.
Jiwa premanisme dalam jiwa pelajar dapat dihilangkan karena tidak muncul begitu saja, ia disebabkan oleh sesuatu hal. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui faktor penyebab sikap premanisme dalam diri pelajar.

Beberapa contohnya adalah tayangan-tayangan di televisi, baik film ataupun liputan berita yang menceritakan atau sengaja mengekspose tema-tema kekerasan dapat mempengaruhi psikis remaja. Kekerasan yang terjadi di rumah juga mempengaruhi psikis individu remaja, karena akan menyebabkan trauma atau kekerasan beruntun yang diakibatkan karena menganggap kekerasan adalah hal yang wajar.

Tuesday, January 19, 2016

Hukum Rimba di Negara Hukum

            Permasalahan sosial yang akan dibahas kali ini yaitu mengenai sosial hukum mengenai hukum rimba yang berlaku di negara hukum Indonesia. Sering kita mendengar letupan kalimat dari mulut para politisi dan para pengamat hukum kita, bahkan para pejabat negara dengan kalimat "Ini Negara hukum, Indonesia adalah Negara hukum, Kita hidup dalam Negara hukum", "Serahkan saja kepada penegakan hukum, kita percaya saja dengan hukum yang ada" dan banyak lagi versi kalimat senada.
Kalau Indonesia ingin konsisten dengan sebutan Negara hukum, yang pertama dan nyata bisa dirasakan rakyat melaksanakan hukum itu adalah pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kenyataan selama ini sejak era kekuasaan Soeharto hingga kini era SBY, aparat pemerintah selalu melakukan pelanggaran hukum bahkan UU yang diamanatkan rakyat kepada setiap pelaksana pemerintahan, kebanyakan tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh secara baik dan benar.  Lucunya, wakil rakyat yang selama ini dan sedang duduk di DPR-RI serta DPRD juga tidak menjalankan pengawasan terhadap UU disetiap bidang kerja kepemerintahan sehingga sering terjadi ketidak puasan sebagian kalangan masyarakat, padahal azas keadilan harus dijalankan kedalam pelaksanaan hukum. Dalam kondisi berantakannya dan amburadulnya penegakan hukum di Indonesia, secara tidak langsung, Negara menggiring seluruh masyarakat serta komponen masyarakat untuk tidak mempercayai penegakan hukum di Indonesia. Akhirnya Negara sebenarnya secara tidak langsung telah mengundang seluas-luasnya masyarakat beserta komponen masyarakat untuk melakukan perbuatan main hakim sendiri. Suatu bukti nyata, diberbagai daerah bahkan di Jakarta dan Jawa Barat selalu terjadi konflik horizontal antar masyarakat dari kelompok yang berperkara di Pengadilan Negeri karena telah terjadi ketidak percayaan yang sangat mendalam terhadap para Hakim dan para Jaksa.
Pada jajaran Kepolisian RI, masih bergentayangannya oknum petinggi Polisi yang nyata memiliki rekening gendut hingga ratusan milyar. Bandingkan saja orang yang hanya sepangkat Irjenpol seperti Djoko Susilo, ternyata bisa memiliki puluhan harta bernilai sangat mahal hampir ratusan Milyar rupiah. Pertanyaan kita, darimanakah uang pembeli terhadap harta sebanyak itu ? Kalau dari gaji bulanan Irjenpol tidaklah mungkin tercapai, tentulah uang pembeli tersebut adalah diperoleh dari penyalah gunaan jabatan dalam periode yang cukup panjang. Bagaimana pula petinggi Polisi berpangkat lebih tinggi dari Djoko Susilo yang masih saja berkeliaran bebas sampai kini dalam instansi korps kepolisian RI. Pada jajaran Kejaksaan RI, karakter dan kinerja para oknumnya hampir sama dengan Kepolisian RI terhadap situasi budaya manipulasi dan penyalah gunaan jabatannya. Dalam hal penuntutan, oknum Jaksa bisa melakukan transaksi pasal dalam UU agar terpidana bisa bebas atau bisa ringan hukumannya (hukum dimainkan secara licik) sehingga tuntutan mengandung multi-interpretasi serta berargumentasi lemah tentunya dalam proses lanjutan, akan bermain juga dengan para oknum hakim pada saat berlangsungnya acara pengadilan. Semua ini tentu lidak lepas dengan permainan kotor dengan para oknum pengacara. Menurut pengamatan penulis, sangat langka untuk mendapatkan pengacara yang jujur serta idealis apalagi dalam kasus perkara perdata, para oknum pengacara selalu bisa berpihak kepada penggugat dan tergugat serta AC/DC kedua-duanya bagi mereka adalah duit yang bisa diperoleh dari berbagai pihak. Para oknum Pengacara selalu berpihak kepada pihak yang memiliki uang banyak. Membela orang miskin dalam berperkara di Pengadilan, hanya dimanfaatkan untuk pencitraan saja dan pencitraan ini nantinya digunakan juga untuk pembenaran keprofesian bahwa tidak orang berduit saja yang saya/kami bela. Para oknum Polisi, Hakim dan Jaksa sudah menjadi binatang hukum rimba yang berpura-pura menjalankan hukum serta berlindung dalam predikat hukum untuk bisa memakai fasilitas Negara agar bisa secara leluasa memeras serta memanipulasi hukum di Indonesia demi upaya jahat perbanyakan perolehan harta secara haram.
Untuk saat ini, kemana setiap warga Negara bisa mengadukan permasalahan hukum mereka ? Kalau ke Polisi tentu akan digarap oleh oknum Polisi (laporan kehilangan kambing bisa berbiaya pungutan liar seharga sapi), lapor ke mana ? ke ombustman, sama saja laporan permasalahan hukum hanya berstatus diterima saja dan diupayakan akan ditindak lanjuti (entah kapan), ke Komisi Yudisial (KY)? juga tidak beda dan para komisionernya selalu bergaya raja kecil di KY dan terlalu percaya pada karyawan menengah bawah yang banyak mafianya, ke Mahkamah Agung (MA)? lebih parah lagi, masyarakat akan di persulit dan berbelit-belit serta banyaknya mafia hukum yang bercokol di MA dimulai dari karyawan tingkat menengahnya. Semua kelemahan aparat Negara ini, mengundang hasrat berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Kemungkinan kuat, penyerangan penjara Cebongan di Yogya kemarin, adalah sebagai resultante kekecewaan aparat Kopassus terhadap penegakan hukum kita yang tidak adil sama sekali sehingga tidak ada yang bisa dipercaya disemua lini penegakan Hukum Indonesia. Kalau sudah demikian parah, adakah upaya kuat untuk memperbaikinya ? (Ashwin Pulungan)
            Indonesia sama dengan cerita Tarzan dalam dongeng klasik yang kepemimpinanya didasarkan pada kekuatan fisik. Bedanya, Tarzan masih memiliki naluri kemanusiaan yang tinggi. Ini dibuktikan dengan sikapnya yang menghargai makhluk sesama penghuni alam semesta, berkawan dengan siapa saja tanpa memandang harkat dan martabat termasuk takdir. Bandingkan dengan Indonesia. Jangankan dengan makhluk ciptan tuhan lainnya. Sesama manusia pun sikap toleransi dan saling menghargai hampir tidak nampak sama sekali. Bahkan bangsa indonesia saling menjatuhkan satu sama lain. Undang-undang dibuat hanya sebagai mesin politik guna menindas kaum minoritas dengan mengatasnamakan negara. Penyelesaian problematika masalah bangsa tidak melalui kedaulatan hukum, tetapi melalui jalur negosiasi politik yang cenderung parsial. Konsep negara hukum (rechstaat) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dicederai oleh kepentingan sesaat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dijadikan kambinghitam untuk mendapatkan simpati politik. Hukum ibarat kain usang yang sering ditambal sulam.
            Hukum diciptakan untuk menciptakan ketentraman. Tetapi hukum juga bisa mengakibatkan pertikaian. Disparitas antara konsep hukum dan kekuasaan seringkali berujung pada anarkisme sosial yang permanen. Ironisnya, hukum yang seharusnya bisa menciptakan kestabilan sosial, justeru mengakibatkan kerusuhan sehingga mengakibatkan instabilitas nasional. Apa yang menurut penguasa hukum yang baik, menurut rakyat adalah hukum yang menindas. Hukum bisa berjalan pada koridornya jika tidak diintervensi oleh kepentingan politik. Tapi di Indonesia, hampir mustahil mengatakan tidak intervensi politik dalam pembuatan hukum. Hukum yang dipraktekkan di Indonesia cenderung egois, hanya mendengarkan satu pihak dan mengabaikan suara dari pihak lain. Ini mengakibatkan hukum di Indonesia ibarat hukum rimba. Siapa kuat, maka dialah pemenangnya. Yang memiliki uang atau modal, maka dapat dipastikan, ia akan mampu membeli kedaulatan negara. Dalam doktrin kapitalisme “welcome to money”. Yang tidak mampu bersaing, perlahan-lahn akan tersingkir dan jatuh. Yang miskin akan selamanya melarat dan terinjak-injak. Berkaca pada pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia, hasil pencapaian kinerja tim pemberantasan korupsi hanya sebatas pada kuantitas jumlah kerugian negara yang berhasil dikembalikan yang ternyata jumlahnya juga tidak berbanding lurus antara pembiayaan dan pengembalian kerugian negara, bahkan terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas praktek korupsi.


Daftar Pustaka


Tuesday, January 5, 2016

Permasalahan Sosial di Indonesia : Ketidakadilan


            Pada artikel sebelumnya yang telah saya tulis, kita telah membahas berbagai macam permasalahan sosial di Indonesia. Kali ini saya akan membahsa tentang ketidakadilan dimana ketidakadilan di negara kita tercinta ini yang menganut negara hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tentu saja permasalahan yang satu ini sangat berhubungan dengan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Sebagai contoh di Indonesia pernah terjadi saat itu seorang nenek ditangkap dan dipidana oleh suatu minimarket karena telah mencuri sebotol minyak kayu putih dari minimarket tersebut. Aksi si nenek yang sudah rapuh itu pun tertangkap oleh pekerja di minimarket tersebut dan nenek tersebut dipidana hukuman penjara serta denda sejumlah uang sebagai akibat dari perbuatannya tersebut. Sedangkan koruptor Indonesia yang bernama Gayus tambunan mash terlihat menonton pertandingan tenis di Bali dimana pada saat itu seharusnya dia sedang mendekam di penjara. Sungguh terlihat sangat mencolok bahwa yang terjadi di antara dua kasus tersebut adalah ketidakadilan.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, kata adil berarti tidak berat sebelah atau memihak manapun dan tidak sewenang-wenang. Sedangkan menurut istilah keadilan adalah penagkuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia, ada tiga macam keadilan menurut Aristoteles, yaitu :
a.    Keadilan distributif, yaitu memberikan sama yang sama dan memberikan tidak sama yang tidak sama
b.    Keadilan kommutatif, yaitu penerapan asas proporsional, biasanya digunakan dalam hal hukum bisnis
c.    Keadilan remedial, yaitu memulihkan sesuatu ke keadaan semula, biasanya digunakan dalam perkara gugatan ganti kerugian.

Keadilan juga dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:
a.    Keadilan restitutif, yaitu keadilan yang berlaku dalam proses litigasi di pengadilan dimana fokusnya adalah pelaku
b.    Keadilan restoratif, yaitu keadlian yang berlaku dalam proses penyelesaian sengketa non-litigasi dimana fokusnya bukan pada pelaku, tetapi pada kepentingan “victims” (korban).
Supremasi hukum di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Ini jelas merupakan sebuah ketidakadilan.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya
Sebagai salah satu contoh lagi ketidakadilan di negara ini adalah budaya hakim sendiri. Budaya tersebut dilakukan bila terjadi tindakan kejahatan dan menangkap basah pelaku kejahatan tersebut. Pelaku kejahatan biasanya akan babak-belur atau bahkan meninggal jika polisi tidak langsung menanganinya langsung. Budaya tersebut sebaiknya tidak dilakukan oleh masyarakat, seharusnya masyarakat menyerahkan pelaku kejahatan kepada aparat hukum dan membiarkan aparat hukum yang menindak langsung terhadap tindak kejahatan. Tetapi apakah fenomena budaya hakim sendiri terjadi karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat hukum dan hukum  yang berlaku di Indonesia? Mungkin saja fenomena hakim sendiri lahir karena aparat hukum yang tidak menegakkan hukum. Banyak juga kita lihat di televisi aparat-aparat hukum yang berlaku tidak adil, sebagai contoh kita ambil kasus korupsi simulator SIM petinggi POLRI. Seharusnya aparat hukum yang menegakkan hukum, tetapi pada kenyataannya adalah aparat hukum tersebut yang melanggar hukum. Atau bahkan seorang hakim yang seharusnya jadi pengadil di negeri ini malah disuap. Harus kemanakah mencari keadilan di negeri ini?
Ketidakadilan merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Ketidak adilan pada umumnya menyangkut maslah pembagian suatu terhadap hak  sesorang atau kelompok yang dilakukan secara tidak proporsional. Jika ketidakadilan tersebut terjadi berlarut-larut dan tidak disikapi dengan baik oleh penyelenggara negara hal itu akan menimbulkan berbagaimasalah. Ketidakadilan memiliki 5 prinsip yaitu :
a.    Elitisme efisien
b.    Pengecualian diperlukan
c.    Prasangka adalah wajar
d.    Keserakahan adalah baik
e.    Putus asa tidak bisa dihindari
Ada beberapa bentuk ketidakadilan yaitu stereotip, marginalisasi, subordinasi, dominasi.
· Stereotip mmerupakan salah satu bentuk prasangka antar ras berdasarkan ras, jenis kelamin kebanggaan dan keterampilan komunikasi verbal maupun non verbal.
· Marginalisasi adalah proses pemutusan hubungan antar kelompok-kelompok tertentu dengan lembaga sosial utama, seperti struktur ekonomi, pendidikan, dan lembaga sosial ekonomi lainnya. Perbedaaan antara populasi dan kelompok seperti etnis, ras, agama, budaya, bahasa, adat istiadat, penampilan dan afiliasi memungkinkan populasi dominan untuk meminggirkan kelompok yang lemah.
· Subordinasi atau penomorduaan adalah perbedaan perlakukan terhadap identitas sosial tertentu. Biasanya yang menjadi kelompok subordinasi adalah kelompok minoritas.
·  Dominasi adalah sifat yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok mayoritas, sedangkan kelompok minoritas dinomorduakan atau bahkan diabaikan. Ada berbagai bentuk dominasi yaitu  perbudakan, diskriminasi, kolonial, despotisme, kapitalisme, feodalisme, dan sebagainya.
Bentuk ketidakadilan diatas, dsangat potensial merugikan masyarkat lemah yang tidak memiliki kemapuan komperatif ataupun kompetitif.  Ketidakadilan sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu sia ke 5 keadilan seluruh rakyat indonesia. Secara keseluruhan Pasal UUD 1945 menekankan pentingnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dari segala aspek.


 Daftar Pustaka :

Permasalahan Sosial di Indonesia : Kesenjangan Sosial



Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan sedikit mengenai kemiskinan di Indonesia. Kali ini saya akan menjelaskan permasalahan sosial yang lain yaitu kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial tidak lepas juga kaitannya dengan kemiskinan. Kesenjangan sosial adalah suatu keadaan ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat  yang menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok. Dalam hal kesenjangan sosial sangatlah mencolok dari berbagai aspek misalnya dalam aspek keadilanpun bisa terjadi. Antara orang kaya dan miskin sangatlah dibedakan dalam aspek apapun, orang desa yang merantau dikotapun ikut terkena dampak dari hal ini, memang benar kalau dikatakan bahwa “ Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Adanya ketidak pedulian terhadap sesama ini dikarenakan adanya kesenjangan yang terlalu mencolok antara yang “kaya” dan yang “miskin”. Banyak orang kaya yang memandang rendah kepada golongan bawah, apalagi jika ia miskin dan juga kotor, jangankan menolong, sekedar melihatpun mereka enggan.
Disaat banyak anak-anak jalanan yang tak punya tempat tinggal dan tidur dijalanan, namun masih banyak orang yang berleha-leha tidur di hotel berbintang , banyak orang diluar sana yang kelaparan dan tidak bisa memberi makan untuk anak-anaknya tapi lebih banyak pula orang kaya sedang asyik menyantap berbagai makanan enak yang harganya selangit. Disaat banyak orang-orang miskin kedinginan karena pakaian yang tidak layak mereka pakai, namun banyak orang kaya yang berlebihan membeli pakaian bahkan tak jarang yang memesan baju dari para designer seharga 250.000 juta, dengan harga sebanyak itu seharusnya sudah dapat memberi makan orang-orang miskin yang kelaparan.
Kesenjangan sosial yang terjadi diakibatkan oleh beberapa hal yaitu :
a.     Kemiskinan
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi:
1.    Sistem ekonomi uang, buruh upah dan sistem produksi untuk  keuntungan tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil
2.    Rendahnya upah buruh 
3.    Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah
4.    Sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral, dan
5.    Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis rusak atau berganti, Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi didobrak, sedangkan status golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat serta sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga korban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis.
Beberapa ciri kebudayaan kemiskinan adalah :
1.    Fatalisme,
2.    Rendahnya tingkat aspirasi,
3.    Rendahnya kemauan mengejar sasaran,
4.    Kurang melihat kemajuan pribadi ,
5.    Perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan,
6.    Perasaan untuk selalu gagal,
7.    Perasaan menilai diri sendiri negatif,
8.    Pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan
9.    Tingkat kompromis yang menyedihkan. 
Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metode psikiater kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri. Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
b.    Lapangan Pekerjaan
Lapangan pekerjaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian masyarakat, sedangan perekonomian menjadi fartor terjadinya kesenjangan sosial. Sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia menjadikan pengangguran yang sangat besar di Indonesia dan merupakan pekerjaan bagi pemerintah saat ini.








DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Masalah_sosial