Tawuran Antar Pelajar
Bagian IV
Tawuran
pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi masyarakat. Prilaku tawuran pelajar
bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cedera tapi sudah
merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia selama sepuluh tahun terakhir.
Beberapa
tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta ditangkap polisi karena
membacok siswa SMK 5 Semarang. Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah dan
dihukum penjara. Wali Kota Sukawi Sutarip mendukung bila sekolah mengeluarkan
siswa yang terlibat tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua sekolah di Semarang
tidak boleh menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif semacam itu akan
menyelesaikan masalah?
Maraknya
tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro, rendahnya
kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku yang tidak
pronorma. Pada tingkat messo, buruknya kualitas dan manajemen pendidikan
mendorong rasa frustasi anak yang dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk
tawuran. Di tingkat makro, persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan
hidup memberi sumbangan tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa)
yang merasa kehilangan harapan untuk hidup layak. Pembahasan pada artikel ini dibatasi
pada bidang pendidikan.
Sekolah
sebagai “Pembunuh” Siswa
Beragam
“prestasi buruk” selama ini menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar
tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan
kualitas siswa. Pertanyaan mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat
sumbangsih pendidikan bagi masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal
“investasi” yang diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum
berhasil menjadi solusi bagi kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya:
menciptakan masalah bagi masyarakat.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Banyaknya
bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu
montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”.
Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang
monolog oleh guru terasa benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru
adalah besarnya daya ingat siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya
ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya.
Akibat
kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru”
sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan
akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan
kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi
malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang
menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya,
siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di
jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang
akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas
penyakit jantung.
Siswa
bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat
dan potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam
bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk”
belajar fisika dan matematika.
Seorang
kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang
bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan
siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang
bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan
rumah, serta masuk 6 hari perminggu.
Bagaimana
mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah
“terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya. Tetapi,
sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan? Itulah masalahnya.
Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”. Mereka lebih memikirkan
kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan. Budaya “cari
muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan.
Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem
ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Sekolah
yang Menyenangkan
Saat
ini mulai berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang menyenangkan,
seperti model quantum learning. Dalam quantum learning pelajaran
sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan disesuaikan dengan ranah
berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang “dipaksa” mengikuti pelajaran sesuai
kemauan guru, termasuk dalam hal penilaian benar-salah. Guru yang harus “masuk”
ke dalam ranah berpikir siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa
siswa. Dalam quantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter
memaksakan pendapatnya paling benar. Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji
kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat tidak dilarang. Selama ini kan
tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak. Siswa tidak punya kewajiban
lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap “melanggar peraturan”
sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi siswa untuk mengemukakan
pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada konteksnya, termasuk konteks
pemikiran siswa. Akibatnya, siswa patuh karena “pura-pura”.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian David Goleman, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi di Indonesia.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian David Goleman, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi di Indonesia.
Kecerdasan
emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan
hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki
pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa
melobi, dan bisa mempengaruhi manusia lain.
Siswa
yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk
berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang
yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah
hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga
tidak bisa “membedakan” musuh. Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau
“musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai
seragam sekolah “lawan” harus dimusuhi.
Seragam
sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih
kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan
identitas kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah
juga tidak bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga
mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak
diwajibkan mengenakan seragam.
Itulah
beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut telah
diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu
berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan: terus
berusaha dan tak kenal menyerah.
Daftar Pustaka :