Sejarah Ayam Bakar Wong Solo Puspo Wardoyo
Biografi Puspo Wardoyo :
Nama : Puspo
Wardoyo
Lahir
: Solo, 30 November 1957
Riwayat
Pendidikan :
·
SDN
Kenangasam Solo
·
SMP Islam
Batik Solo
·
SMA Negeri 4
Solo
·
UNS Solo
Puspo Wardoyo adalah pendiri Rumah Makan “Áyam Bakar Wong
Solo’’ yang sering disingkat menjadi ABWS yang
merupakan rumah makan Frencais pertama asli Indonesia. Puspo Wardoyo atau yang
sering dipanggil dengan Puspo lahir pada tanggal 30 November 1957 di Kota Solo,
Jawa Tengah dan berasal dari keluarga pas-pasan. Sejak kecil Puspo sudah
terbiasa berurusan dengan ayam. Orangtuanya adalah seorang pedagang daging
ayam. Puspo yang pada saat itu masih kecil membantu menyembelih ayam pada pagi
hari untuk dijual di pasar dan membantu orangtuanya menjajakan menu siap saji
seperti ayam bakar, ayam goreng dan menu ayam lainnya di warung milik
orangtuanya di dekat kampus UNS pada siang sampai malam hari. Orangtua Puspo
ingin anaknya ada yang menjadi pegawai negeri, dan itupun akhirnya terkabul.
Puspo menjadi guru bidang studi pendidikan seni di SMU Negeri I Blabak Muntilan.
Namun itu tidak bertahan lama karena Puspo merasa bahwa pekerjaan itu kurang
cocok dengan jiwanya, dan dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Puspo keluar
dari PNS. Setelah keluar dari PNS, Puspo memilih pulang ke kampung halamannya
dan membuka warung ayam goreng kaki lima di Kleco, Solo. Dalam menekuni
usahanya ini, Puspo dibantu oleh 2 orang karyawan, dan usaha ini termasuk
perintis atau pionir kaki lima lesehan di Solo pada tahun 1986
Terinspirasi
oleh cerita pedagang bakso yang sukses mengarungi hidup di Medan. Ketika itu
pria kelahiran 30 November 1957 itu tengah merintis usaha warung lesehan di
Solo selepas mengundurkan diri dari pegawai negeri sipil, suatu saat pedagang
bakso asal Solo tersebut bertandang ke tempat Puspo. Pedagang bakso itu bercerita
peluang usaha warung makan di Medan sangat bagus. Dalam sehari ia bisa meraup
keuntungan bersih di akhir tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000.
Dari
keuntungan berjualan bakso dengan gerobak sorong itulah teman Puspo ini bisa
pulang menengok kampung halamannya di Solo setiap bulan. "Dengan uang,
jarak antara Solo-Medan lebih dekat dibanding Solo- Semarang," kata
Puspoyo menirukan ucapan temannya. Wajar saja jika dengan pesawat terbang waktu
tempuh antara Medan- Solo berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu 1
jam. Sementara itu naik bus maka jarak antara Solo- Semarang ditempuh sekitar
empat jam.
Cerita
sukses itu begitu membenak di hatinya. Seorang penjual bakso yang bisa pulang
kampung tiap bulan. Ditambah si penjual bakso ini menggunakan pesawat terbang
sebagai alat transportasi. "Saya bertekad bulat akan merantau ke
Medan," pikirnya. Untuk mewujudkan tujuannya itu, apa boleh buat, warung
makan yang termasuk perintis warung lesehan di kota pusat kebudayaan Jawa itu
dijualnya kepada seorang teman.
Merantau di Medan
Uang
hasil penjualan yang tak seberapa itu ia manfaatkan untuk membeli tiket bus ke
Jakarta. Kenapa memilih ke Jakarta, bukannya Medan. "Karena dengan uang
yang saya miliki, bekal saya belum cukup untuk merantau ke Medan, " terangnya.
Di tengah perjalanan, suatu hari Puspo membaca lowongan pekerjaan sebagai guru
di sebuah perguruan bernama DR Wahidin di Bagan Siapiapi, Sumatera Utara. Apa
boleh buat demi mewujudkan cita- citanya sampai di Medan, ia berusaha
mengumpulkan modal.
Kali
ini dia kembali menjadi guru. Ini seperti pekerjaannya dulu, kala itu, Puspo
Wardoyo adalah pegawai negeri dimana ia menjadi staf pengajar mata pelajaran
Pendidikan Seni di SMA Negeri Muntilan, Kabupaten Magelang. "Target saya
cuma dua tahun menjadi guru lagi," katanya. Di sinilah anak pasangan
Sugiman Suki ini ketemu dengan isteri pertamanya Rini Purwanti yang sama-sama
menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut.
Dua
tahun menjadi guru ia berhasil mengumpulkan tabungan senilai Rp 2.400.000.
Dengan uang tak seberapa itu dijadikannya modal untuk menaklukan kota Medan.
Keinginan untuk berusaha di kota Medan semakin tak terbendung. Uang tabungan
itu sebagian Puspo gunakan untuk menyewa rumah dan membeli sebuah motor Vespa
butut. Sisa Rp 700.000 digunakannya sebagai modal membangun warung kaki Lima di
bilangan Polonia Medan.
Ia
menyewa lahan 4x4 meter persegi seharga Rp.1.000 per- meter. Ada cerita menarik
ketika bisnis ini baru saja berjalan. Di warung yang masih sederhana ini, suatu
hari, seorang pegawainya mengalami kesulitan. Dia terlibat utang dengan
rentenir. Puspo kala itu segera membantu sang pegawai melunasi hutang. Tak
disangka si pegawai itu membalas kebaikan Puspo dengan cara yang unik. Ia
membawa wartawan sebuah harian lokal Medan. Si wartawan yang merupakan sahabat
suami pegawai yang ditolong Puspo kemudian menuliskan profilnya.
Sebuah artikel yang berisi profil Puspo Wardoyo berjudul Sarjana Buka Ayam Bakar Wong Solo.
Sebuah artikel yang berisi profil Puspo Wardoyo berjudul Sarjana Buka Ayam Bakar Wong Solo.
Artikel
itu membawa rezeki bagi warungnya. Esok hari setelah artikel dimuat di koran,
banyak orang yang berbondong-bondong mendatangi warung ayam milik Puspo. Siapa
sangka jika dari sebuah warung kecil ini kemudian melahirkan sebuah usaha
jaringan rumah makan yang cukup kondang di seantero Medan. Impian untuk
menaklukkan "jarak" Solo Medan lebih dekat dibanding Solo Semarang
pun menjadi kenyataan melebih impian kecilnya untuk sekedar sukses.
Ini
adalah sebuah sukses besar. Dari ibu kota Sumatera Utara ini nanti Rumah Makan
Ayam Bakar Wong Solo (Wong Solo) melejit ke pentas bisnis nasional. Belakangan
ini nama Wong Solo semakin berkibarkibar setelah berhasil menaklukkan Jakarta
setelah sebelumnva "mengapung" dari daerah pinggiran. Dalam waktu
relatif singkat kehadiran Wong Solo telah merengsek dan menanamkan tonggak- tonggak
bisnisnya di pusat kota metropolis ini.
Ekspansinya
pun semakin tak tertahankan dengan memasuki berbagai kota besar di penjuru
Indonesia. Melalui sistem franchise atau waralaba, dengan mudah Ayam Bakar Wong
Solo dijumpai. Fenomena Wong Solo mengundang decak kagum berbagai kalangan dari
pejabat pemerintah, para pelaku bisnis hingga para pengamat. Hampir semua
outletnya di Jakarta selalu sesak pengunjung, terutama di akhir pekan dan hari-
hari libur.
Ayam Bakar Wong Solo
Skala
usaha Wong Solo memang belum sekelas para konglomerat yang enteng menyebut
angka aset, omset atau keuntungan per tahun yang triliunan rupiah. "usaha
saya memang belum kelas triliunan seperti para konglomerat yang kaya utang
itu," paparnya merendah. Kendati masih tergolong usaha menengah, namun
bisa dibilang kinerja wong Solo sangat solid dan tak punya beban utang. Ia
memiliki pondasi kuat untuk terus berkembang.
Untuk
mewujudkan mimpinya, ayah sembilan anak dari empat orang istri ini telah
melewati rute perjalanan yang berliku lengkap dengan segala tantangannya. Ada
masa ketika diawal merintis usaha ketika masih Medan; ia nyaris patah semangat
garagara selama berhari-hari tak pernah untung. Hanya berjualan dua atau tiga
ekor ayam bakar dan nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun yang laku
terjual. Pernah pula seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah tumpah di
tengah jalan karena jalanan licin sehabis hujan.
"Apa boleh buat, saya terpaksa pulang dan memasak lagi," katanya. Istrinya lah yang tak sabar melihat lambannya usaha milik Puspo bahkan sempat memberi tahu ayahnya agar mempengaruhi Puspo supaya tak berjualan ayam bakar lagi. "Mertua saya bilang, kapan kamu akan tobat," katanya menirukan ucapan sang mertua.
Pada
awal perantauannya ke Medan, Puspo wardoyo, sama sekali tak menyangka jika
usaha warung ayam bakar Wong Solo bisa berkembang sangat pesat. Maklum, rumah
makan yang dibukanya saat itu hanyalah sebuah warung berukuran sekitar 3×4
meter di dekat bandara Polonia, Medan. Setahun pertama dia hanya mampu menjual
3 ekor ayam per hari yang dibagibagi menjadi beberapa potong. Harga jual per
potongnya Rp 4.500 plus sepiring nasi.
Promosi
dari mulut ke mulut membuat warungnya makin terkenal dan sangat efektif.
Terlebih ketika seorang wartawan daerah membuat tulisan tentang Wong Solo',
makin ramai warungnya. Kisah lain, pernah suatu hari dia kewaalahan memenuhi
pesanan pelanggan. Di saat itu tiga ekor ayam jualannya habis, datang pembeli
lain yang bersedia menunggu asalkan Puspo mau mencari ayam batu ke pasar. Dia
segera saja memenuhi permintaan pelanggan tersebut dengan membeli tiga ekor
ayam lagi. Namun datang lagi pelanggan lain yang juga bersedia menunggu ia
mencari ayam ke pasar lagi.
"Seharian itu, hingga larut malam saya pontang panting ke pasar untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan," kata Puspo mengenang.
"Seharian itu, hingga larut malam saya pontang panting ke pasar untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan," kata Puspo mengenang.
Dua
tahun telah berlalu dan seorang Puspo segara memperluas warung hingga layak
disebut rumah makan. Jiwa seni Wardoyo nampak tergurat pada bentuk bangunan dan
penampilannya yang memang cenderung nyleneh. Dalam bentuk bangunan, misalnya,
Puspo tak segan- segan mengeluarkan uang cukup besar untuk membayar seorang
arsitek guna mewujudkan imajinasinya terhadap suatu bentuk bangunan.
Perpaduan
seni dan entrepreneurship juga tertuang dalam pendekatan terhadap konsumen.
"Saya berusaha menghafal namanama semua pelanggan saya. Sehingga sewaktu
mereka datang saya harus menyambut mereka dengan menyebut namanya,"
paparnya. Inilah yang disebutnya sebagai "menjadikan pelanggan sebagai
saudara". Seiring dengan berkembangnya Wong Solo, Puspo Wardoyo akhirnya
membuka kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menikmati nilai
tambah Wong Solo melalui sistem waralaba.
Untuk
waralaba tersebut, dia telah membuat standarisasi rasa dan gerai (outlet). Jika
seseorang membeli waralaba Wong Solo di Jakarta, dipastikan akan sama rasa dan
penataan gerainya dengan Wong Solo di pusatnya, Medan atau di tempat lain.
Setelah sukses membesarkan Wong Solo, harapan Puspo Wardoyo selanjutnya, dengan
sungguh- sungguh dia menyahut, " Ingin terus bekerja keras, kaya raya,
banyak istri, dan masuk surga." Sebuah pernyataan kontroversi namun layak
diucapkan seorang Puspo Wardoyo yang unik (nyeleneh).
sumber: kisahsukses.info
sumber: kisahsukses.info
Komentar :
Berdasarkan sejarah usaha Ayam Bakar Wong Solo dari seorang
Puspo Wardoyo, saya menjadi sangat terinspirasi. Keberhasilan beliau
membuktikan bahwa seseorang yang bukan apa-apa bisa menjadi seseorang yang luar
biasa dari modal kecil-kecilan hingga memiliki cabang dimana-mana. Tentunya
keberhasilan ini tidak terlepas dari kerja keras dan kemauan seseorang
tersebut. Hal ini terlihat jelas dari bagaimana seorang tukang bakso dapat
menjadi inspirasinya untuk mengubah hidupnya sehingga ia mau dan berusaha
mencari peluang di kota Medan agar dapat menjadi seseorang yang lebih berhasil
dan sukses untuk masa depannya. Meskipun di tengah jalan pasti akan selalu ada
hambatan dan rintangan yang menghadang namun beliau tidak putus asa. Usaha
beliau pun tidak terlepas dari kebaikan hatinya yang suka membantu sesama.
Seperti saat ia berjualan ayam goreng di pinggiran kaki lima. Di usaha yang
pas-pasan saat itu, ia masih berusaha membantu pegawainya yang sedang berada
dalam kesusahan. Tentu saja hal seperti ini tidaklah mudah bagi seseorang yang
tengah bertaruh nasib dan tidak memiliki harta yang cukup banyak. Namun beliau
dengan dermawannya mau membantu pegawainya tersebut. Bantuannya pun tidak
sia-sia karena pada satu hari, pegawai tersebut membawa wartawan untuk
mempromosikan usaha Puspo yang masih sangat sederhana. Dari artikel yang dimuat
wartawan tersebut lah usaha beliau menjadi sukses hingga saat ini dan membuka
berbagai cabang dimana-mana. Cerita ini sangat menginspirasi saya sehingga saya
ingin mencoba untuk berwirausaha suatu saat nanti. Meskipun banyak yang meragukan,
banyak rintangan, halangan, dan kegagalan, namun kita tidak akan pernah tau
jika kita tidak pernah mencobanya.