Karya : Anggun Dwina Harsanti
"Saudara kandung adalah bunga yang berbeda dari taman yang sama."
"Saudara kandung adalah bunga yang berbeda dari taman yang sama."
...
Aku
membuka mata di pagi hari. Tubuh ini terasa akan hancur saat aku mencoba untuk
bangun. Aku baru ingat hari ini adalah hari Minggu. Hari Minggu adalah hari
yang paling kunantikan. Aku ingin segera beristirahat dan melepas seluruh penat
yang singgah di dalam diriku. Namun, hari Minggu kali ini berbeda dengan
minggu-minggu sebelumnya. Aku baru sadar ketika membuka jendela bahwa hari ini
mendung, membuatku tidak bergairah untuk melakukan kegiatan apapun. Segera
kutarik kembali selimutku dan mulai memejamkan mata. Seperti ada yang ganjil,
aku merasa sangat sulit untuk tidur lagi. Kemudian aku berguling-guling dan
berputar-putar di atas tempat tidur. Rasanya sulit sekali untuk kembali ke
dunia mimpi sana dan melanjutkan mimpiku yang sebelumnya. Beberapa menit pun
berlalu, aku masih berbaring di atas tempat tidur dan enggan bangun. Aku
memikirkan sesuatu untuk beberapa saat. Sesuatu yang dapat aku lakukan untuk
menghilangkan kegelisahan ini. Tak lama kemudian, aku memutuskan untuk
mengerjakan tugas-tugas sekolah. Aku mengurung diri di kamar sampai beberapa
jam agar tugas-tugas tersebut dapat selesai dengan cepat. Beberapa jam pun
berlalu, kepalaku mulai terasa pusing
sehingga aku meninggalkan seluruh tugas di kamar dan mencari hiburan di luar
sana.
Setelah
keluar kamar, aku mendapati ruang tv tidak berpenghuni. Begitu sunyi, tidak ada
yang bersua. Tanpa pikir panjang, aku pun mengambil remote tv dan
menyalakannya. Aku menonton acara kartun kesukaanku yang hanya akan tayang
setiap hari Minggu. Saat sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba adikku
keluar dari kamarnya. Ia berdiri di depan tv dengan maksud untuk menghalangi
pandanganku. Aku menegurnya agar segera menghilang dari pandanganku yang hanya
tertuju pada tv dan menyuruhnya pergi. Ia tidak mau dan itu sangat mengganggu
ketenanganku. Entah apa yang ia pikirkan, ia mencoba merebut remote tv dari
tanganku namun aku tidak mau memberikannya. Kami pun bertengkar dengan sangat hebat
dan tidak ada yang mau mengalah. Remote tv tersebut berpindah dari satu tangan
ke tangan yang lainnya. Hingga pada akhirnya, aku sudah tidak sabar lagi.
Seluruh amarah memuncak di ubun-ubun. Sekujur tubuhku terasa panas seperti
terbakar. Entah apa yang merasukiku, aku merasa sangat kesal dan ingin
memusnahkan anak ini dari hadapanku. Tanpa aku sadari, tanganku melayang di
luar kendali lalu melukai tangannya. Kami pun terdiam. Tak lama kemudian,
tangan adikku memerah dan darah mulai mengalir. Ia berlari mencari ibu ke
seluruh isi rumah sambil menangis. Aku ketakutan dan langsung mengurung diri di
kamar. Tanganku terasa sangat panas. Apa yang telah aku lakukan, pikirku sambil
mangamati tangan yang telah melukai adikku. Aku mengamati kedua tanganku yang
memerah dengan seksama. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipiku. Aku mencoba
mencakar-cakar diriku sendiri. Mencakar pipi, tangan dan begitu seterusnya
hingga aku letih. Ini akibatnya. Ini akibat yang harus aku terima. Tetapi aku
tidak merasa sakit sedikitpun. Tidak ada segores luka pun yang tampak. Aku
mulai merasa bingung. Tanpa piker panjang, aku segera mengambil gunting kuku
dan memotong kukuku yang telah mencakar tangan adikku sendiri. Pikiranku kacau
dan seketika itu juga aku langsung menutupi diri di dalam selimut dan
menghabiskan hari Minggu di dalam kamar mengurung diri.
Hari-hari
berikutnya, aku merasa sangat takut untuk bertemu dengannya. Tidak ada satu
kata pun yang terlontar ketika melihatnya selain mengalihkan pandangan dan
menjauh. Aku hanya ingin melarikan diri dan tidak mau melihatnya. Sedih, kesal,
dan perasaan bersalah selalu menghantui. Hal seperti itu berlangsung selama
satu minggu. Aku sangat tersiksa dengan keadaan seperti ini. Aku tahu ini
salahku namun aku meyakinkan diri bahwa ini bukan salahku. Ini bukan salahku.
Ini bukan salahku. Ini bukan salahku. Jika saja ia tidak mengganggu hariku yang
melelahkan dan memperburuk suasana hatiku yang sudah kelabu, aku tidak akan
kehilangan kendali dan melukainya sampai berdarah seperti itu. Terlebih lagi,
aku adalah seorang kakak. Sudah pasti akulah yang akan disalahkan oleh ibu atas
peristiwa ini meskipun yang pertama memulainya bukan aku. Aku benci. Aku
membenci semuanya. Perang dingin pun terus berlangsung di rumah. Aku menjauhkan
diri dari seluruh anggota keluarga dan hanya mengurung diri di dalam kamar.
Aku
tahu ibu pasti sangat sedih melihat kedua anak kandungnya bertengkar. Beliau
pasti sangat menginginkan kami berdua akur, rukun, dan saling membantu. Namun,
selama ini yang aku tahu adikku hanyalah anak manja yang merepotkan. Ia tidak
mau berbagi dan membantu jika di rumah sedang membutuhkan pertolongan. Aku ingin
dia enyah saja dari rumah ini. Bagiku, ia tidak berguna. Ia tidak lebih dari
seorang anak manja yang menyebalkan, egois, dan hanya memikirkan dirinya
sendiri. Adikku tidak seperti adik teman-temanku yang sangat lucu dan polos. Ia
berbeda. Ia menyeramkan. Jika keinginannya tidak terpenuhi, pasti ia akan
memberontak. Semakin aku mengingatnya, semakin aku membencinya.
Bersambung..
Bersambung..
No comments:
Post a Comment