Pages

Wednesday, March 15, 2017

Ini Bukan Salahku

Karya : Anggun Dwina Harsanti


"Saudara kandung adalah bunga yang berbeda dari taman yang sama."

...
Aku membuka mata di pagi hari. Tubuh ini terasa akan hancur saat aku mencoba untuk bangun. Aku baru ingat hari ini adalah hari Minggu. Hari Minggu adalah hari yang paling kunantikan. Aku ingin segera beristirahat dan melepas seluruh penat yang singgah di dalam diriku. Namun, hari Minggu kali ini berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya. Aku baru sadar ketika membuka jendela bahwa hari ini mendung, membuatku tidak bergairah untuk melakukan kegiatan apapun. Segera kutarik kembali selimutku dan mulai memejamkan mata. Seperti ada yang ganjil, aku merasa sangat sulit untuk tidur lagi. Kemudian aku berguling-guling dan berputar-putar di atas tempat tidur. Rasanya sulit sekali untuk kembali ke dunia mimpi sana dan melanjutkan mimpiku yang sebelumnya. Beberapa menit pun berlalu, aku masih berbaring di atas tempat tidur dan enggan bangun. Aku memikirkan sesuatu untuk beberapa saat. Sesuatu yang dapat aku lakukan untuk menghilangkan kegelisahan ini. Tak lama kemudian, aku memutuskan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Aku mengurung diri di kamar sampai beberapa jam agar tugas-tugas tersebut dapat selesai dengan cepat. Beberapa jam pun berlalu,  kepalaku mulai terasa pusing sehingga aku meninggalkan seluruh tugas di kamar dan mencari hiburan di luar sana.
Setelah keluar kamar, aku mendapati ruang tv tidak berpenghuni. Begitu sunyi, tidak ada yang bersua. Tanpa pikir panjang, aku pun mengambil remote tv dan menyalakannya. Aku menonton acara kartun kesukaanku yang hanya akan tayang setiap hari Minggu. Saat sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba adikku keluar dari kamarnya. Ia berdiri di depan tv dengan maksud untuk menghalangi pandanganku. Aku menegurnya agar segera menghilang dari pandanganku yang hanya tertuju pada tv dan menyuruhnya pergi. Ia tidak mau dan itu sangat mengganggu ketenanganku. Entah apa yang ia pikirkan, ia mencoba merebut remote tv dari tanganku namun aku tidak mau memberikannya. Kami pun bertengkar dengan sangat hebat dan tidak ada yang mau mengalah. Remote tv tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Hingga pada akhirnya, aku sudah tidak sabar lagi. Seluruh amarah memuncak di ubun-ubun. Sekujur tubuhku terasa panas seperti terbakar. Entah apa yang merasukiku, aku merasa sangat kesal dan ingin memusnahkan anak ini dari hadapanku. Tanpa aku sadari, tanganku melayang di luar kendali lalu melukai tangannya. Kami pun terdiam. Tak lama kemudian, tangan adikku memerah dan darah mulai mengalir. Ia berlari mencari ibu ke seluruh isi rumah sambil menangis. Aku ketakutan dan langsung mengurung diri di kamar. Tanganku terasa sangat panas. Apa yang telah aku lakukan, pikirku sambil mangamati tangan yang telah melukai adikku. Aku mengamati kedua tanganku yang memerah dengan seksama. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipiku. Aku mencoba mencakar-cakar diriku sendiri. Mencakar pipi, tangan dan begitu seterusnya hingga aku letih. Ini akibatnya. Ini akibat yang harus aku terima. Tetapi aku tidak merasa sakit sedikitpun. Tidak ada segores luka pun yang tampak. Aku mulai merasa bingung. Tanpa piker panjang, aku segera mengambil gunting kuku dan memotong kukuku yang telah mencakar tangan adikku sendiri. Pikiranku kacau dan seketika itu juga aku langsung menutupi diri di dalam selimut dan menghabiskan hari Minggu di dalam kamar mengurung diri.
Hari-hari berikutnya, aku merasa sangat takut untuk bertemu dengannya. Tidak ada satu kata pun yang terlontar ketika melihatnya selain mengalihkan pandangan dan menjauh. Aku hanya ingin melarikan diri dan tidak mau melihatnya. Sedih, kesal, dan perasaan bersalah selalu menghantui. Hal seperti itu berlangsung selama satu minggu. Aku sangat tersiksa dengan keadaan seperti ini. Aku tahu ini salahku namun aku meyakinkan diri bahwa ini bukan salahku. Ini bukan salahku. Ini bukan salahku. Ini bukan salahku. Jika saja ia tidak mengganggu hariku yang melelahkan dan memperburuk suasana hatiku yang sudah kelabu, aku tidak akan kehilangan kendali dan melukainya sampai berdarah seperti itu. Terlebih lagi, aku adalah seorang kakak. Sudah pasti akulah yang akan disalahkan oleh ibu atas peristiwa ini meskipun yang pertama memulainya bukan aku. Aku benci. Aku membenci semuanya. Perang dingin pun terus berlangsung di rumah. Aku menjauhkan diri dari seluruh anggota keluarga dan hanya mengurung diri di dalam kamar.
Aku tahu ibu pasti sangat sedih melihat kedua anak kandungnya bertengkar. Beliau pasti sangat menginginkan kami berdua akur, rukun, dan saling membantu. Namun, selama ini yang aku tahu adikku hanyalah anak manja yang merepotkan. Ia tidak mau berbagi dan membantu jika di rumah sedang membutuhkan pertolongan. Aku ingin dia enyah saja dari rumah ini. Bagiku, ia tidak berguna. Ia tidak lebih dari seorang anak manja yang menyebalkan, egois, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Adikku tidak seperti adik teman-temanku yang sangat lucu dan polos. Ia berbeda. Ia menyeramkan. Jika keinginannya tidak terpenuhi, pasti ia akan memberontak. Semakin aku mengingatnya, semakin aku membencinya.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment